Apa yang ada jarang disyukuri
Nikmat yang tiada sering dirisaukan
Alarm hp ku berbunyi, tandanya waktu sudah menunjukkan pukul setegah tujuh. Jemuranku selesai. Selanjutnya urusan Akbar. Waktunya Akbar mandi dan sarapan. Aku mengambil hp untuk mematikan alarm. Ada rasa ingin mengirimkan pesan kepadanya. Menyampaikan apa yang aku rasakan.
Aku sdh menunggu… sebelum anak-anak bangun. Hanya ingin berbincang sedikit, ngobrol sebentar, yg itu adalah charger buat aku seharian.
Kamu tetap asik dg hp dan betul saja... anak bayi sdh bangun dan tdk ada lagi waktu berdua sebentar saja.
Ungkapan kekesalanku entah tidak sampai entah tidak kau setujui. Apapun itu selalu saja aku yang terlihat bersalah. Aku mohon maaf untk segalanya. Untk segala ketidakmampuanku.
Aku klik tombol kirim di hp ku... aku menarik napas panjang dan membuangnya dengan keras. Aku tidak tau apakah yang aku lakukan akan membuat urusan ini lebih mudah atau lebih panjang. Aku letakkan hp ku. Aku harus siap dengan segala jawaban yg dia kirimkan. Apakah jawabannya nanti aka membuat hatiku tentram atau semakin kacau.
“Akbar, mandi yuk!” kataku kepada Akbar sambil bersiap menggendongnya.
Targetku jam 8 semua pekerjaan domestik selesai. Setelahnya aku harus ke sekolah. Rrr…rrr… hp ku bergetar tanda ada whatsapp masuk. Mungkin dari dia. Aku buru-buru menggapai hp ku sambil menggendong Akbar. Ya, betul. Pesan singkat darinya. EGOIS. Hanya satu kata itu jawaban darinya. Satu kata itu berhasil menjebol pertahananku. Seketika air mataku mengalir.
Egois? Dia bilang aku egois. Dia pikir mudah melakukan ini semua. Dia pikir mudah mengenyampingkan impian-impian yang aku punya. Apa yang dia pikirkan? Pikiranku menghubungkan apa pun yang bisa dihubungkan meskipun sesungguhnya tidak berhubungan.
***
Kami menikah saat kami masih berstatus mahasiswa. Kampusku berada di Jakarta, sedangkan dia di Bogor. Kami sama-sama sedang berjuang meraih gelar magister. Aku masih menjadi mahasiswa baru saat itu. Seminggu tiga kali aku menempuh Bogor-Jakarta karena aku juga mengajar di Bogor.
Lima bulan kemudian aku hamil. Pagi mengajar di Bogor, siang berangkat ke Jakarta, malam kembali ke Bogor. Begitulah rutinitasku selama seminggu tiga kali. Meskipun perut semakin membesar aku bertekad tetap harus menyelesaikan studiku. Perkuliahanku berjalan lancar. Aku bisa menyelesaikan tepat waktu, satu tahun. Selanjutnya aku mulai menyusun penelitinku daan saat itulah Akbar lahir.
Penelitianku molor begitu lama. Waktu untuk menjalankan penelitianku serasa tak ada. Waktu terasa berjalan begitu cepat antara pekerjaan dan rumah. Untuk melakukan penelitian dan bimbingan, aku harus meninggalkan Akbar lebih lama lagi. Tidak jarang aku tergoda untuk tidak melanjutkan penelitian. Apa yang aku cari? Mengapa aku harus menyelesaikan penelitianku? Untuk apa gelar magisterku nanti? Apakah sebanding pengorbanan yang aku lakukan dengan apa yang aku dapatkan nanti? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu tidak jarang menari-nari dalam pikiranku.
Setelah hampir dua tahun penelitianku tak kunjung selesai, aku memutuskan resign dari pekerjaan mengajarku. Saat itulah seorang teman mengajakku untuk melakukan pekerjaan sosial, membangun sebuah taman kanak-kanak yang sangat terjangkau tapi berkualitas.
Aku menikmati aktivitas baru. Hal yang paling membuat aku senang, Akbar tak perlu diasuh oleh orang lain. Ketika aku melakukan penelitian dan menyelesaikan tesisku, aku menitipkan Akbar dengan keluarku di Jakarta. Hal ini membuatku lebih tenang. Satu tahun setelahnya aku mendapatkan gelar megisterku yang sampai saat ini gelar tersebut tidak aku pakai untuk apapun. Akan tetapi ilmu dan perjalanan untuk mendapatkan gelar tersebut selalu berguna.
Tidak jarang aku tetap galau jika melihat teman-temanku memiliki berbagai prestasi yang diakui. Ya, yang diakui dalam pekerjaannya. Sedangkan aku, siapa yang mengakui prestasiku selain diriku dan orang-orang terdekatku saja. Ah, padahal aku tahu bahwa prestasi bukan tentang apa ya manusia lihat dan banggakan tapi seberapa besar manfaat yang diberikan dan seberapa besar dampak dari manfaat itu.
Padahal dialah salah satu manusia yang Allah kirimkan untuk membuatku bisa menjalani peran-peranku. Dialah yang tidak alpa memberikan penghargaan untukku dengan caranya. Dialah yang kadang berada di depan agar aku tak salah arah, berada di samping untuk menuntunku, dan di belakang untuk mendorongku.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh. Sebentar lagi dia pulang. Rasa kesalku masih sedikit, hanya sedikit. Aku mempersiapkan diri menyambutnya. Hatiku dag dig dug, apakah wajahnya masih masam atau sudah cerah.
Suara motornya sudah terdengar.
“Ayah…ayah…” terika Akbar di belakang pintu. Dia selalu bersemangat ketika ayahnya pulang.
Aku membuka pintu. Akbar sudah lari menuju dirinya. Dia langsung menggendong Akbar dan memberikan kecupan. Aku masih mematung di depan pintu. Dia mendekat kepadaku dan mencium pipiku sambil berkata love you. Ah, hilang sudah kesal dihatiku. Begitulah bentuk perdamaian kami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar