Rabu, 25 Januari 2023

E.G.O.I.S bagian 1

Aku sangat kesal. Kesal sampai rasanya ingin berteriak. Teriak saja, apa susahnya. Mungkin itu katamu. Kataku susah. Apa yang akan terjadi dengan anak-anakku jika mereka melihat bunda mereka berteriak-terika tak karuan. Begitulah jika kau  jadi ibu. Seberapa kacaunya hatimu, kau tetap harus bisa berpura-pura di depan mereka, anak-anak. Berbeda dengan ketika kau menjadi ayah. Ketika sedang marah atau apalah namanya, mudah saja keluar rumah. Pergi ke mana suka, sampai hati tenang.

Pagi ini dia berangkat pagi benar. Tanpa mencolek kopi dan sarapan yang sudah kubuat. Dia tetap tersenyum kepada anak-anak, tapi kepadaku, tidak ada! Hanya muka masam yang dia berikan. Aku diam saja tak mau menambah runyam suasana. Senyuman saja tak ada apalagi kecupan! Sudahlah aku tetap harus menjalani rutinitasku meskipun dengan perasaan yang campur haduk. 

“Masuk nak!” kataku kepada Akbar, anak kami. Rutinitas pagi kami mengantar ia sampai ke luar rumah. Kami akan masuk setelah ia hilang di kelokan depan. 
Akbar masuk ke dalam rumah langsung menuju pojok mainannya. Akbar mengambil tas berisi lego. Ditumpahkan seluruh isi tas ke lantai. Setelah ini Akbar akan sibuk dengan permainan legonya. Inilah waktunya aku menyusun dalam pikiran daftar pekerjaan rumah yang akan aku kerjakan. Priorotas pertama menjemur kain. Musim hujan seperti ini kalau tidak sigap mengambil kesempatan saat matahari datang, keranjang pakaian kotor tidak akan cukup menampung. 

Sepanjang menjemur pakaian, pikiranku melayang-layang persis seperti layangan. Jika tidak ditarik ulur, layangan akan putus dan terbang ke mana angin membawanya. Pikiranku melayang pada kejadian pagi tadi sebelum Akbar bangun. 
***

Aku melihat dia asik dengan hp nya. Hatiku kesal setiap melihat dia asik dengan hp nya di pagi hari. Pagi sebelum anak bangun adalah waktuku, begitu pikirku selalu. Kapan lagi kami bisa berbincang-bincang santai selain saat itu. Sepulang kerja tentu tidak bisa. Akbar terbiasa bermain dengannya saat itu. Bermain kuda-kudaan, perang-peranga, robot-robotan, segala permainan laki-laki lainnya.

“Maa…Mama...” Akbar menangis mencari diriku. Setiap bangun tidur dirikulah yang selalu dicari Akbar. Jika dia tidak melihatku di sampingnya maka dia menangis. 
Aku semakin kesal mendengar tangisnya. Waktu berdua kami hilang sudah pagi ini. Waktu yang sangat berharga untuk aku mencicil 20.000 kata dalam sehari. Kekesalanku aku lampiaskan ke Akbar. Aku mengomel sebentar dan merebahkan badanku di samping Akbar. Aku harus tetap merebahkan diri di samping Akbar sampai Akbar benar-benar tidur kembali atau sampai Akbar benar-benar bangun dan tidak ingin kembali tidur. Ketika hati sedang kesal, masa menunggu ini terasa membuang-buang waktu. Hampir sepuluh menit berlalu. Akbar tidak juga pulas tidur.
“Sudah Akbar bangun saja kalau tidak mau tidur”. 
Aku bangun dan duduk di samping Akbar. Aku sudah bisa menebak. Akbar akan menagis, tapi kekesalanku benar-benar ingin aku sampaikan ke dirinya melalui sikapku ke Akbar. Aku tau ini tidak adil untuk Akbar, tapi aku tidak kuasa untuk tidak melakukannya. 

Bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar