Malam tadi aku bermimpi tentangnya. Seorang sahabatku saat dulu. Bukan berarti saat ini kami tidak bersahabat. Hanya saja kami sudah lama tak bertemu. Kami sudah berpisah beberapa purnama dan entah sampai berapa purnama lagi kami akan kembali bertemu. Katanya dia ingin menjelajah keliling dunia. Ah, ada-ada saja. Sudah kukatakan, untuk apa? Bumi terlalu luas. Dia tak menghiraukanku. Dia tetap pergi, seorang diri.
Sebelum pikiran aneh itu dia sampaikan kepadaku, tingkahnya memang sudah berubah. Pagi, siang, sore, pun malam. Sebagian besar waktunya dihabiskan dengan menatap angkasa.
“Apa yang sedang kau lakukan?” tanyaku pada suatu pagi.
“Kau lihat kupu-kupu itu? mereka begitu indah.” jawabnya tanpa menengok ke arahku sedikit pun. kepalanya yang mungil tetap lekat menatap kupu-kupu berwarna warni.
“Ya, kita pun memilikinya. Memiliki keindahan yang berbeda.”
“Aku rasa tidak. Kau tahu, kita hanya makhluk kecil penuh bulu. Hewan perusak. Begitu manusia menyebut kita.”
“Kau meyakininya?”
“Hampir.” jawabnya singkat dan perlahan pergi meninggalkanku
Aku tahu kapan sahabatku mulai tak lagi kukenali, tapi aku tidak tahu apa penyebabnya. Sahabatku berubah setelah kepulangannya dari sebuah rumah. Sahabatku pernah tinggal beberapa waktu di sudut sebuah rumah perkampungan pinggir hutan.
Saat itu pertama kalinya kami, para tikus, bermain terlalu jauh. Tanpa sadar kami sudah berada di perkampungan pinggir hutan. Kami memutuskan segera Kembali, tetapi tidak dengan sahabatku. Sahabatku begitu terpesona melihat rumah-rumah di perkampungan itu. Dia ingin tinggal di sana. Segala upaya telah kami lakukan agar dia kembali bersama kami. Akan tetapi, keinginannya terlalu besar.
Tujuh malam berlalu, dia pun kembali dengan perubahan yang bagiku sangat berarti. Dirinya yang dulu seakan telah pergi, tak lagi bisa kukenali. Usahaku tak pernah usai untuk mengembalikan ke dirinya yang semula. Seperti siang ini. Saat dia kembali menatap angkasa.
“Kau lihat burung-burung itu?” tanyanya saat menyadari kehadiranku.
“Ya.” jawabku singkat.
“Beruntungnya mereka dapat melihat segala hal yang ingin mereka lihat.” dia menengok singkat ke arahku dan kembali menatap burung-burung yang sedang mencari kebutuhan mereka.
“Kita sama seperti mereka, bisa melihat apa yang ingin kita lihat. Bukankah kita memiliki mata? Kita tidak buta.” aku ikut menatap lekat burung-burung tersebut.
“Tentu saja berbeda, mereka dapat melihat lebih banyak dari yang bisa kita lihat.”
“Mereka perlu lebih banyak melihat dari atas sana, sedangkan kita hanya perlu melihat dari atas tanah ini.” sepertinya pendapatku tak menarik untuknya. Tak ada jawaban setelahnya. Pandangannya tetap tertuju ke angkasa.
Bukan hanya aku yang sangat merasakan perubahan sahabatku. Teman-taman kami pun merasakan itu. Bedanya mereka tak terlalu peduli. Teman-teman kami hanya melihat sahabatku dari rumah-rumah mereka. Mereka tak tertarik mencoba mendekat dan ikut menatap angkasa.
Dia masih sahabatku dan aku tak akan usai berusaha membawanya kembali menikmati hidup kami di atas tanah ini.
“Apalagi yang kau lihat di angkasa? matahari sudah pergi.”
“Kau lihat bulan itu? Bagaimana caraku mencapainya?”
“Kau pikir bisa?”
“Mungkin tidak, tapi aku ingin.”
Aku hanya diam tak tahu lagi apa yang perlu aku katakan. Perkataanku sepertinya tak lagi berguna. Aku hanya duduk disebelahnya. Menemaninya menatap angkasa. Begitu saja yang bisa kulakukan. Kami bersama menatap angkasa dengan pikiran yang berbeda. Dia menatap angkasa dengan segala keinginan memilikinya, sedangkan aku menatap dan menikmati angkasa dengan segala keindahan ciptaan-Nya. Pada akhirnya aku menikmati keadaan ini sampai keinginannya pergi menjelajah dunia itu datang. Setelah dia pergi dan tak kunjung kembali, aku tetap menatap dan menikmati angkasa, hanya saja kini kulakukan sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar