Sabtu, 28 Januari 2023

Perjalanan Bag 1 (belum edit)

Semeru dengan puncak Mahameru memiliki makna sendiri untukku. Di tempat itu, Gie wafat; di tempat itu, buku yang kubaca berlatar. Punya keinginan tersendiri untuk menziarahi tempat tersebut. Begitu menggebu ketika kabar SM 3 menjadikan tempat tersebut proyek terakhir mereka. Ketika anak-anak mengajak ikut, tentu begitu antusia. Akan tetapi, tetiba ada kabar tidak jadi dikutsertakan. Sedih, sangat, walau tidak berlarut karena selalu saja yakinku jika tidak ada kehendak Allah, maka tidak akan ada. Jika menurut-Nya tidak baik untukku sebelumnya dan sesudahnya, buatku tak apa. Ternyata, jika dikehendaki, ada saja jalan. Tetiba, masuk pesan singkat di hp saya yang menyatakan saya diajak ke Semeru. Datar, tidak terlalu bahagia, bukankah terkadang begitu rasa. 
Berbeda dengan anak-anak, persiapan fisik saya sangat kurang. Saya hanya mengkuti dua kali latihan fisik dari sekian kali mereka latihan. Akan tetapi, saya mencoba untuk tidak kurang mempersiapkan semua perbekalan. Pada tanggal 30 Mei kami berkumpul di taman topi, pelepasan dengan orang tua. Rahmat menjadi peserta yang datang pertama, sebelum pukul 6 dan Fira setelahnya. Apa yang ada di benak mereka, para orang tua melepas anaknya bersama Laskar Mahameru. Bukankah belum tentu anak mereka kembali. Kepercayaan, mungkin memang itu satu-satunya yang membuat mereka tenang. Ada satu wali murid yang ikut bersama Laskar Mahameru, ayah Odi. Ternyata, beliau memang beberapa kali ikut dengan ekspedisi sang anak.
Fasilitator menjalankan tugas masing-masing. Mr-d dan pak sholeh membali tiket ke Senin jalur tanah abang dengan tarif 9000, pak syakur membeli sarapan. Pengecekan dan koordinasi kelompok dilakukan. Tidak semua membawa bekal makan yang diperintahkan. Pengepakan barang-barang di tas, beberapa ada yang tidak rapi maka pak Arif dan fas lain membantu merapikannya. Raziki dan Icha masih di jalan. 
Selanjutnya, upacara di mulai, tentunya dengan sambutan-sambutan. Pak Husnan menyampaikan motivasi dan meluruskan niat Laskar Mahameru.  Meziarahi Semeru, naik ke Mahameru merupakan bagian dari mendidik diri kita. Kita sedang menaklukan dunia agar dunia tidak menaklukan kita. Selanjutnya, perwakilan dari orang tua Ageng. Orang tua iri dengan pengalaman teman-teman, iri karena teman-teman memiliki guru-guru yang kuat. Tidak semua orang tua merelakan anak-anaknya pergi jauh. Kepercayaan kepada para guru yang membuat kerelaan itu ada. Jaga kepercayaan orang tua. Ini bukan jalan-jalan biasa, tetapi perjalanan terakhir bersama. Kebersamaan seperti ini tidak akan kembali lagi maka nikmatilah. Kalian bukan hanya menjadi sahabat alam melainkan juga kholifah alam. Diakhiri dengan berfoto-foto.

Jumat, 27 Januari 2023

Imam Baqi bin Makhlad

Pakaiannya compang-camping, lusuh, dan kusam. Jalannya terpincang-pincang dengan bantuan tongkat. Rambut dan jenggotnya semrawut. Pengemis itu berhenti di depan rumah Imam Ahmad Bin Hambal. 
“Bersedekahlah kepada orang miskin agar mendapat pahala dari Allah Swt.” kata pengemis itu dengan suara lemah. 
Tidak berapa lama, Imam Ahmad Bin Hambal  membukakan pintu dan mempersilahkan pengemis itu masuk.  Tidak berselang lama, pengemis itu keluar dari rumah tersebut. Begitulah yang dilakukan pengemis itu setiap hari. Tidak ada yang orang lain yang mengetahui selain Imam Ahmad Bin Hambal dan dirinya bahwa dia hanya pengemis palsu. Dia bernama Baqi Bin Makhlad. 
Baqi Bin Makhlad lahir di Cordoba pada tahun 201 H dan wafat pada 276 H. Baqi Bin Makhlad memiliki kesabaran, kekuatan, semangat, dan tekad yang kuat dalam mencari ilmu. Dia melakukan dua kali perjalanan mencari ilmu dari Cordoba ke Baghdad. Perjalanan tersebut ditempuh dengan berjalan kaki selama 34 tahun. Perjalanan pertama ditempuh selama 14 tahun dan perjalan kedua selama 20 tahun. Perkiraan jarak tempuh kedua perjalanan tersebut di atas 2400 km.  
Target terbesar Baqi Bin Makhlad mencari ilmu ke Baghdad, yaitu berguru kepada Imam Ahmad Bin Hambal. Menjelang masuk Baghdad, Baqi Bin Makhlad mendapatkan kabar bahwa Imam Ahmad Bin Hambal sedang menjadi tahanan rumah karena fitnah yang diberikan kepadanya. Ketika menjadi tahanan rumah, tentu saja Imam Ahmad Bin Hambal tidak diizinkan pergi untuk mengajar. 
Mendengar keadaan Imam Ahmad Bin Hambal, Baqi Bin Makhlad tidak putus asa. Dia mendatangi rumah Imam Ahmad Bin Hambal. Sesampainya di sana, ia mengetuk pintu dan memperkenalkan diri. 
”Saya datang dari negeri yang jauh sekali dan sengaja datang untuk menemuimu. Apakah saya boleh berjumpa denganmu?” 
“Kamu dari mana?” tanya Imam Ahmad Bin Hambal.
“Dari Barat.” jawab Baqi Bin Makhlad.
“Dari Tunish?” Imam Ahmad Bin Hambal kembali bertanya.
“Lebih jauh dari itu. Saya dari Cordoba.”
“Mayaallah, Saya menghargaimu.”
“Saya ke sini ingin mencari ilmu.” 
“Kau tahu saya dalam kondisi menjadi tahanan rumah.” 
“Ya, saya tahu. Orang-orang di sini tidak mengenal saya. Bagaimana jika saya setiap hari datang ke sini dengan berpura-pura menjadi pengemis. Saya akan mengeraskan suara meminta di depan rumahmu dan Engkau menerima saya masuk. Saya mendapatkan satu hadits saja sudah membahagiakanku.” pinta Baqi Bin Makhlad penuh harap. 
Sebelum menuju rumah Imam Ahmad Bin Hambal, Baqi Bin Makhlad sudah memperhatikan kebiasaan pengemis di Baghdad. Dengan pakaian yang compang camping, pengemis di Baghdad akan mengeraskan suara meminta di depan rumah. Jika ingin memberi makanan, pengemis dipersilahkan masuk dan diberikan makanan. Pengemis dapat memakan makanan di rumah tersebut. Setelah selesai makan, pengemis akan keluar dari rumah itu. 
“Baik, itu memang cara yang terbaik. Akan tetapi, ada syarat yang harus Engkau penuhi. Selama Engkau menuntut ilmu dengan cara itu, jangan Engkau hadir dalam mejelis-majelis yang lain. Jika Engkau menghadiri mejelis-majelis lain, orang-orang akan mengetahui bahwa kau adalah pencari ilmu.” Kata Imam Ahmad Bin Hambal. 
“Baik, saya setuju.” 
Setiap hari, Baqi Bin Makhlad menuntut ilmu kepada Imam Ahmad Bin Hambal dengan cara berpura-pura sebagai pengemis. Setiap hari, tidak lebih dari tiga hadits dipelajari Baqi Bin Makhlad. Dengan cara itu, Baqi Bin Makhlad mencatat sebanyak 300 hadits. 
Baqi Bin Makhlad tidak hanya berguru kepada Imam Ahmad Bin Hambal. Selama melakukan perjalanan mencari ilmu ke Baghdad, dia berguru kepada 284 orang. Baqi Bin Makhlad juga berguru kepada semua guru dari Ibnu Wadhah, yaitu sebanyak 1000 orang. 


Kamis, 26 Januari 2023

E.G.O.I.S bagian 2

Apa yang ada jarang disyukuri
Nikmat yang tiada sering dirisaukan 

Alarm hp ku berbunyi, tandanya waktu sudah menunjukkan pukul setegah tujuh. Jemuranku selesai. Selanjutnya urusan Akbar. Waktunya Akbar mandi dan sarapan. Aku mengambil hp untuk mematikan alarm. Ada rasa ingin mengirimkan pesan kepadanya. Menyampaikan apa yang aku rasakan. 

Aku sdh menunggu… sebelum anak-anak bangun. Hanya ingin berbincang sedikit, ngobrol sebentar, yg itu adalah charger buat aku seharian. 
Kamu tetap asik dg hp dan betul saja... anak bayi sdh bangun dan tdk ada lagi waktu berdua sebentar saja
Ungkapan kekesalanku entah tidak sampai entah tidak kau setujui. Apapun itu selalu saja aku yang terlihat bersalah. Aku mohon maaf untk segalanya. Untk segala ketidakmampuanku.

Aku klik tombol kirim di hp ku... aku menarik napas panjang dan membuangnya dengan keras. Aku tidak tau apakah yang aku lakukan akan membuat urusan ini lebih mudah atau lebih panjang. Aku letakkan hp ku. Aku harus siap dengan segala jawaban yg dia kirimkan. Apakah jawabannya nanti aka membuat hatiku tentram atau semakin kacau. 

“Akbar, mandi yuk!” kataku kepada Akbar sambil bersiap menggendongnya. 

Targetku jam 8 semua pekerjaan domestik selesai. Setelahnya aku harus ke sekolah. Rrr…rrr… hp ku bergetar tanda ada whatsapp masuk. Mungkin dari dia. Aku buru-buru menggapai hp ku sambil menggendong Akbar. Ya, betul. Pesan singkat darinya. EGOIS. Hanya satu kata itu jawaban darinya. Satu kata itu berhasil menjebol pertahananku. Seketika air mataku mengalir. 
Egois? Dia bilang aku egois. Dia pikir mudah melakukan ini semua. Dia pikir mudah mengenyampingkan impian-impian yang aku punya. Apa yang dia pikirkan? Pikiranku menghubungkan apa pun yang bisa dihubungkan meskipun sesungguhnya tidak berhubungan.
***

Kami menikah saat kami masih berstatus mahasiswa. Kampusku berada di Jakarta, sedangkan dia di Bogor. Kami sama-sama sedang berjuang meraih gelar magister. Aku masih menjadi mahasiswa baru saat itu. Seminggu tiga kali aku menempuh Bogor-Jakarta karena aku juga mengajar di Bogor. 
Lima bulan kemudian aku hamil. Pagi mengajar di Bogor, siang berangkat ke Jakarta, malam kembali ke Bogor. Begitulah rutinitasku selama seminggu tiga kali. Meskipun perut semakin membesar aku bertekad tetap harus menyelesaikan studiku. Perkuliahanku berjalan lancar. Aku bisa menyelesaikan tepat waktu, satu tahun. Selanjutnya aku mulai menyusun penelitinku daan saat itulah Akbar lahir. 

Penelitianku molor begitu lama. Waktu untuk menjalankan penelitianku serasa tak ada. Waktu terasa berjalan begitu cepat antara pekerjaan dan rumah. Untuk melakukan penelitian dan bimbingan, aku harus meninggalkan Akbar lebih lama lagi. Tidak jarang aku tergoda untuk tidak melanjutkan penelitian. Apa yang aku cari? Mengapa aku harus menyelesaikan penelitianku? Untuk apa gelar magisterku nanti? Apakah sebanding pengorbanan yang aku lakukan dengan apa yang aku dapatkan nanti? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu tidak jarang menari-nari dalam pikiranku.
Setelah hampir dua tahun penelitianku tak kunjung selesai, aku memutuskan resign dari pekerjaan mengajarku. Saat itulah seorang teman mengajakku untuk melakukan pekerjaan sosial, membangun sebuah taman kanak-kanak yang sangat terjangkau tapi berkualitas. 

Aku menikmati aktivitas baru. Hal yang paling membuat aku senang, Akbar tak perlu diasuh oleh orang lain. Ketika aku melakukan penelitian dan menyelesaikan tesisku, aku menitipkan Akbar dengan keluarku di Jakarta. Hal ini membuatku lebih tenang. Satu tahun setelahnya aku mendapatkan gelar megisterku yang sampai saat ini gelar tersebut tidak aku pakai untuk apapun. Akan tetapi ilmu dan perjalanan untuk mendapatkan gelar tersebut selalu berguna. 
Tidak jarang aku tetap galau jika melihat teman-temanku memiliki berbagai prestasi yang diakui. Ya, yang diakui dalam pekerjaannya. Sedangkan aku, siapa yang mengakui prestasiku selain diriku dan orang-orang terdekatku saja. Ah, padahal aku tahu bahwa prestasi bukan tentang apa ya manusia lihat dan banggakan tapi seberapa besar manfaat yang diberikan dan seberapa besar dampak dari manfaat itu. 

Padahal dialah salah satu manusia yang Allah kirimkan untuk membuatku bisa menjalani peran-peranku. Dialah yang tidak alpa memberikan penghargaan untukku dengan caranya. Dialah yang kadang berada di depan agar aku tak salah arah, berada di samping untuk menuntunku, dan di belakang untuk mendorongku. 
***

Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh. Sebentar lagi dia pulang. Rasa kesalku masih sedikit, hanya sedikit. Aku mempersiapkan diri menyambutnya. Hatiku dag dig dug, apakah wajahnya masih masam atau sudah cerah. 
Suara motornya sudah terdengar.

“Ayah…ayah…” terika Akbar di belakang pintu. Dia selalu bersemangat ketika ayahnya pulang. 

Aku membuka pintu. Akbar sudah lari menuju dirinya. Dia langsung menggendong Akbar dan memberikan kecupan. Aku masih mematung di depan pintu. Dia mendekat kepadaku dan mencium pipiku sambil berkata love you. Ah, hilang sudah kesal dihatiku. Begitulah bentuk perdamaian kami.

Rabu, 25 Januari 2023

E.G.O.I.S bagian 1

Aku sangat kesal. Kesal sampai rasanya ingin berteriak. Teriak saja, apa susahnya. Mungkin itu katamu. Kataku susah. Apa yang akan terjadi dengan anak-anakku jika mereka melihat bunda mereka berteriak-terika tak karuan. Begitulah jika kau  jadi ibu. Seberapa kacaunya hatimu, kau tetap harus bisa berpura-pura di depan mereka, anak-anak. Berbeda dengan ketika kau menjadi ayah. Ketika sedang marah atau apalah namanya, mudah saja keluar rumah. Pergi ke mana suka, sampai hati tenang.

Pagi ini dia berangkat pagi benar. Tanpa mencolek kopi dan sarapan yang sudah kubuat. Dia tetap tersenyum kepada anak-anak, tapi kepadaku, tidak ada! Hanya muka masam yang dia berikan. Aku diam saja tak mau menambah runyam suasana. Senyuman saja tak ada apalagi kecupan! Sudahlah aku tetap harus menjalani rutinitasku meskipun dengan perasaan yang campur haduk. 

“Masuk nak!” kataku kepada Akbar, anak kami. Rutinitas pagi kami mengantar ia sampai ke luar rumah. Kami akan masuk setelah ia hilang di kelokan depan. 
Akbar masuk ke dalam rumah langsung menuju pojok mainannya. Akbar mengambil tas berisi lego. Ditumpahkan seluruh isi tas ke lantai. Setelah ini Akbar akan sibuk dengan permainan legonya. Inilah waktunya aku menyusun dalam pikiran daftar pekerjaan rumah yang akan aku kerjakan. Priorotas pertama menjemur kain. Musim hujan seperti ini kalau tidak sigap mengambil kesempatan saat matahari datang, keranjang pakaian kotor tidak akan cukup menampung. 

Sepanjang menjemur pakaian, pikiranku melayang-layang persis seperti layangan. Jika tidak ditarik ulur, layangan akan putus dan terbang ke mana angin membawanya. Pikiranku melayang pada kejadian pagi tadi sebelum Akbar bangun. 
***

Aku melihat dia asik dengan hp nya. Hatiku kesal setiap melihat dia asik dengan hp nya di pagi hari. Pagi sebelum anak bangun adalah waktuku, begitu pikirku selalu. Kapan lagi kami bisa berbincang-bincang santai selain saat itu. Sepulang kerja tentu tidak bisa. Akbar terbiasa bermain dengannya saat itu. Bermain kuda-kudaan, perang-peranga, robot-robotan, segala permainan laki-laki lainnya.

“Maa…Mama...” Akbar menangis mencari diriku. Setiap bangun tidur dirikulah yang selalu dicari Akbar. Jika dia tidak melihatku di sampingnya maka dia menangis. 
Aku semakin kesal mendengar tangisnya. Waktu berdua kami hilang sudah pagi ini. Waktu yang sangat berharga untuk aku mencicil 20.000 kata dalam sehari. Kekesalanku aku lampiaskan ke Akbar. Aku mengomel sebentar dan merebahkan badanku di samping Akbar. Aku harus tetap merebahkan diri di samping Akbar sampai Akbar benar-benar tidur kembali atau sampai Akbar benar-benar bangun dan tidak ingin kembali tidur. Ketika hati sedang kesal, masa menunggu ini terasa membuang-buang waktu. Hampir sepuluh menit berlalu. Akbar tidak juga pulas tidur.
“Sudah Akbar bangun saja kalau tidak mau tidur”. 
Aku bangun dan duduk di samping Akbar. Aku sudah bisa menebak. Akbar akan menagis, tapi kekesalanku benar-benar ingin aku sampaikan ke dirinya melalui sikapku ke Akbar. Aku tau ini tidak adil untuk Akbar, tapi aku tidak kuasa untuk tidak melakukannya. 

Bersambung

Selasa, 24 Januari 2023

Drama


"Ya Allah, kok dikeluarin semua mainannya, berantakan banget"
"Mau cari tali bun"
"Beresin lagi ya"
"Iya"

Apakah membereskan mainan tersebut akan berjalan mulus, semulus jawaban "iya" yang keluar dari mulutnya? 
Jelas tidak kan maak 😂

Sesuai dugaan, membereskan mainan pun tidak berjalan mulus. 
Baru sebagian kecil dibereskan, dia sudah keluar kamar dengan membawa buku. Siap membaca buku. 

"Mas, selesaikan dulu pekerjaan yang itu", menunjuk mainan yang bertumpuk, "baru kerjakan pekerjain lain", menunjuk buku yang dipegang.

"Enggak!" jawaban yang jelas, singkat, dan membuat emosi agak meningkat bukan 😪

Respon yang cukup ampuh untuknya adalah diam dan mengabaikannya. 

Setelah melihat emaknya tak bereaksi, dia perlahan-lahan masuk kembali ke kamar dan kembali membereskan mainan.

Sudah selesai dramanya? Tentu belum 😆

Satu jam berlalu, mainan pun tak kunjung rapih. Merapikan mainan sambil main-main, itulah kendalanya. Sudah kesekian kali dia bolak balik mengeluh tentang mainannya yang tak juga beres. 
Emak pun hanya berkata, "kembali dan selesaikan." Sambil menahan kesal. 

Alhamdulillah, akhirnya selesai juga dengan konsekuensi jadwal makan, mandi, dan belajarnya menjadi mundur. 

Tidak masalah karena bertanggung jawab atas perbuatan yang dipilih dengan sadar adalah pelajaran sangat penting. Begitu pula dengan bersabar dalam menjalankan tanggungung jawab pun tidak kalah penting. 

Setelah itu, selesaikah drama? Tentu belum. Karena dia merasa sudah capek merapihkan mainan dan ingin segera melakukan kegiatan yang dia inginkan, dia pun merajuk meminta disuapi. Tidak mau makan sendiri. 

Apakah diloloskan keinginannya? Jawabannya, tidak. Karena tidak ada alasan yang mengharuskan dia makan disuapi, dia pun harus makan sendiri. 

Bukankah akan makin lama beres? Jelas akan  semakin lama. Tapi lagi-lagi tidak apa. Karena belajar tentang menerima konsekuensi atas apa yang dilakukan juga merupakan pelajaran yang sangat penting untuk dunia dan akhiratnya.

Dalam mendidik anak, berbagai drama pasti ada. Pastikan saja hasil akhir drama sesuai dengan tujuan yang kita inginkan, tujuan jangka panjang atau goal untuk kehidupan dunia dan akhiratnya. Yuk, berusaha tidak melemah dengan berbagai drama yang ada.  

Wallahua'lam bishowab 


Minggu, 22 Januari 2023

Pinggir Sungai Gravel


Gravel masih menangis di bawah jembatan pinggir sungai. Dari malam sampai pagi sudah menjelang, tak henti isak tangis Gravel terdengar. Seumur hidupnya, tak pernah Gravel menangis selama itu bahkan ketika teman-temannya diangkut pergi dari kehidupannya. Bukan karena teman-temannya tak berharga bagi Gravel, melainkan karena ketika itu, datang Mencit, sang penghibur lara Gravel. Mencit dengan ketulusannya membuat Gravel merasa kembali memiliki hidup. Ya, teman adalah kehidupan bagi Gravel.

Mencit tinggal di dalam lemari reyot sebuah rumah yang tak jauh dari sungai. Mencit lihai sekali mengambil barang-barang berharga dari berbagai ruang di rumah itu. Salah satu barang berharga hasil penemuan Mencit diberikannya untuk Gravel. Barang itulah yang membuat Gravel menangis hingga pagi. 

Manik-manik prisma berwarna biru langit diberikan Mencit untuk Gravel tepat setelah teman-teman Gravel diangkut dengan truk besar berwarna kuning. Tidak hanya sekali truk itu datang, hanya saja kali itu tak ada yang tersisa selain Gravel. Gravel panik bukan kepalang. Sungguh dia tidak ingin hidup sebatang kara. 

Mencit tidak tiba-tiba datang menghibur Gravel. Dia sudah lama memperhatikan tepi sungai di bawah jembatan. Sudah lama pula Mencit memperhatikan truk pengangkut itu. Mencit tertarik menatap tepi sungai berlama-lama setelah pemilik lemari reyot bersungut-sungut mengeluhkan tepi sungai yang semakin rusak. 

Suatu pagi, Mencit mendengar isak tangis berasal dari tepi sungai. Mencit melihat truk kuning perlahan pergi meinggalkan tepi sungai. Segera Mencit mencari suara isak tangis tersebut. Dia menemukan Gravel, si batu kecil, menangis tersedu sedan. Mencit segera berlari meninggalkan Gravel yang tidak menyadari kehadiran Mencit. Mencit menuju pojok ruang lemari reyot dan mengobrak abrik barang temuannya. Mencit mencicit senang ketika melihat barang yang dicarinya, sebuah manik-manik prisma berwarna biru langit. Dalam hitungan detik, Mencit membalikkan badannya dan berlari cepat menuju tepi sungai bawah jembatan. 

“Hai, Tak bisakah kau diam sebentar saja.” Suara mencit mengagetkan Gravel. Tangis Gravel terhenti berganti dengan tatapan waspada.

“Tidak perlu takut. Aku Mencit. Kau jelek sekali, wajahmu tak karuan. Sepertinya itu akibat tangisanmu.” Kalimat Mencit tidak terlihat seperti menghibur. Tetapi, begitulah cara Mencit menghibur. “Siapa namamu?”

“Gravel.” Jawab Gravel singkat

“Sini, kubuat wajahmu lebih indah dilihat.” Mencit tak meminta persetujuan dari Gravel. Mencit meletakkan manik-manik prisma disalah satu cekungan tubuh Gravel. 

“Seperti ini lebih baik.” Mencit merasa puas dengan hasil karyanya. Gravel yang sedari tadi diam, melihat dirinya disungai. Senyumnya mulai merekah.

    Hari berganti hari dan bulan berganti bulan. Persahabatan Gravel dan Mencit telah dikenal oleh penghuni sungai. Mencit selalu berkunjung ke pinggir sungai bawah jembatan. Mereka akan berbincang lama sekali sambil sesekali menyapa siapa saja yang melewati tempat mereka bersantai: kayu, daun, plastik, botol, potongan kain, sandal, dan masih banyak lagi. Dari yang mereka sapa itulah, berbagai informasi di dunia luar pinggir sungai bawah jembatan, mereka dapatkan. Infomasi dunia luar menjadikan perbincangan Gravel dan Mencit semakin seru dan semakin bertahan lama. 

    Setiap pertemuan pasti ada perpisahan, begitulah kalimat yang di dengar Gravel dan Mencit dari Tusuk Sate yang dibawa perlahan oleh aliran sungai. Tusuk sate sempat tersangkut di sela akar tanaman pinggir sungai yang masih bertahan. Tersangkutnya Tusuk Sate membawa banyak cerita menarik bagi Gravel dan Mencit. Tusuk Sate mengisahkan kehidupannya yang dia banggakan. Tusuk Sate bangga sekali pernah bermanfat bagi manusia.   

    “Manusia merampas teman-temanku,” kata Gravel kecewa. “Apa bagusnya bermanfaat untuk manusia?” 

    “Tentu saja bagus Gravel. Karena kita ada untuk manusia.” Mencit menyetujui kebanggaan Tusuk Sate. 

    “Maksudmu? Kita hidup hanya untuk manusia?” Gravel belum puas dengan kalimat Mencit.

    “Ya!” Mencit menjawab singkat.

    “Kau terlihat sangat yakin dengan itu Mencit.” Gravel menemukan raut wajah Mencit yang begitu yakin.

    “Ha...ha...ha… kau ini. Kau pikir untuk apa hidupmu Gravel?”

    “Entahlah.”

    “Kita hidup untuk kebutuhan manusia Gravel. Aku menantinya.”

“Jika saat itu datang. Kau akan bangga seperti Tusuk Sate?”

“Tentu.”

“Meskipun kita tak bisa lagi bertemu?”

“Ya, alasan kita diciptakan adalah tujuan hidupku Gravel.”

    Ingatan Gravel dengan percakapan terakhirnya dengan Mencit membuat tangisan panjangnya semakin menjadi. Gravel belum bisa menerima keyakinan Mencit. Bahkan, saat ini keyakinan Mencit semakin jauh dari diri Gravel. 

Mencit tidak pernah kembali lagi ke pinggir sungai bawah jembatan. Sore setelah mereka bercakap-cakap, pemilik lemari reyot, tempat tinggal Mencit, membawa seluruh barangnya pergi dari rumah itu. Rumah itu semakin tidak layak dihuni setelah air sungai sudah semakin sering meluap.

Dua hari setelah Mencit tak lagi mengunjungi Gravel, air sungai kembali meluap. Banjir semakin besar. Manik-manik prisma berwarna biru langit, terbawa air malam tadi. Gravel semakin tak bisa memahami arti tujuan hidup yang dikatakan Mencit setelah kehidupannya, yaitu sahabatnya, kembali direnggut oleh ulah manusia. 




Kamis, 19 Januari 2023

Angkasa


Malam tadi aku bermimpi tentangnya. Seorang sahabatku saat dulu. Bukan berarti saat ini kami tidak bersahabat. Hanya saja kami sudah lama tak bertemu. Kami sudah berpisah beberapa purnama dan entah sampai berapa purnama lagi kami akan kembali bertemu. Katanya dia ingin menjelajah keliling dunia. Ah, ada-ada saja. Sudah kukatakan, untuk apa? Bumi terlalu luas. Dia tak menghiraukanku. Dia tetap pergi, seorang diri.

Sebelum pikiran aneh itu dia sampaikan kepadaku, tingkahnya memang sudah berubah. Pagi, siang, sore, pun malam. Sebagian besar waktunya dihabiskan dengan menatap angkasa. 

    “Apa yang sedang kau lakukan?” tanyaku pada suatu pagi.

“Kau lihat kupu-kupu itu? mereka begitu indah.” jawabnya tanpa menengok ke arahku sedikit pun. kepalanya yang mungil tetap lekat menatap kupu-kupu berwarna warni. 

“Ya, kita pun memilikinya. Memiliki keindahan yang berbeda.”

“Aku rasa tidak. Kau tahu, kita hanya makhluk kecil penuh bulu. Hewan perusak. Begitu manusia menyebut kita.” 

“Kau meyakininya?” 

“Hampir.” jawabnya singkat dan perlahan pergi meninggalkanku

Aku tahu kapan sahabatku mulai tak lagi kukenali, tapi aku tidak tahu apa penyebabnya. Sahabatku berubah setelah kepulangannya dari sebuah rumah. Sahabatku pernah tinggal beberapa waktu di sudut sebuah rumah perkampungan pinggir hutan. 

Saat itu pertama kalinya kami, para tikus, bermain terlalu jauh. Tanpa sadar kami sudah berada di perkampungan pinggir hutan. Kami memutuskan segera Kembali, tetapi tidak dengan sahabatku. Sahabatku begitu terpesona melihat rumah-rumah di perkampungan itu. Dia ingin tinggal di sana. Segala upaya telah kami lakukan agar dia kembali bersama kami. Akan tetapi, keinginannya terlalu besar. 

Tujuh malam berlalu, dia pun kembali dengan perubahan yang bagiku sangat berarti. Dirinya yang dulu seakan telah pergi, tak lagi bisa kukenali. Usahaku tak pernah usai untuk mengembalikan ke dirinya yang semula. Seperti siang ini. Saat dia kembali menatap angkasa. 

“Kau lihat burung-burung itu?” tanyanya saat menyadari kehadiranku.

“Ya.” jawabku singkat. 

“Beruntungnya mereka dapat melihat segala hal yang ingin mereka lihat.” dia menengok singkat ke arahku dan kembali menatap burung-burung yang sedang mencari kebutuhan mereka. 

    “Kita sama seperti mereka, bisa melihat apa yang ingin kita lihat. Bukankah kita memiliki mata? Kita tidak buta.” aku ikut menatap lekat burung-burung tersebut. 

    “Tentu saja berbeda, mereka dapat melihat lebih banyak dari yang bisa kita lihat.”

    “Mereka perlu lebih banyak melihat dari atas sana, sedangkan kita hanya perlu melihat dari atas tanah ini.” sepertinya pendapatku tak menarik untuknya. Tak ada jawaban setelahnya. Pandangannya tetap tertuju ke angkasa. 

    Bukan hanya aku yang sangat merasakan perubahan sahabatku. Teman-taman kami pun merasakan itu. Bedanya mereka tak terlalu peduli. Teman-teman kami hanya melihat sahabatku dari rumah-rumah mereka. Mereka tak tertarik mencoba mendekat dan ikut menatap angkasa. 

    Dia masih sahabatku dan aku tak akan usai berusaha membawanya kembali menikmati hidup kami di atas tanah ini. 

    “Apalagi yang kau lihat di angkasa? matahari sudah pergi.” 

    “Kau lihat bulan itu? Bagaimana caraku mencapainya?” 

    “Kau pikir bisa?” 

    “Mungkin tidak, tapi aku ingin.” 

    Aku hanya diam tak tahu lagi apa yang perlu aku katakan. Perkataanku sepertinya tak lagi berguna. Aku hanya duduk disebelahnya. Menemaninya menatap angkasa. Begitu saja yang bisa kulakukan. Kami bersama menatap angkasa dengan pikiran yang berbeda. Dia menatap angkasa dengan segala keinginan memilikinya, sedangkan aku menatap dan menikmati angkasa dengan segala keindahan ciptaan-Nya. Pada akhirnya aku menikmati keadaan ini sampai keinginannya pergi menjelajah dunia itu datang. Setelah dia pergi dan tak kunjung kembali, aku tetap menatap dan menikmati angkasa, hanya saja kini kulakukan sendiri.