scribo ergo sum
Sabtu, 28 Januari 2023
Perjalanan Bag 1 (belum edit)
Jumat, 27 Januari 2023
Imam Baqi bin Makhlad
Kamis, 26 Januari 2023
E.G.O.I.S bagian 2
Rabu, 25 Januari 2023
E.G.O.I.S bagian 1
Selasa, 24 Januari 2023
Drama
Minggu, 22 Januari 2023
Pinggir Sungai Gravel
Gravel masih menangis di bawah jembatan pinggir sungai. Dari malam sampai pagi sudah menjelang, tak henti isak tangis Gravel terdengar. Seumur hidupnya, tak pernah Gravel menangis selama itu bahkan ketika teman-temannya diangkut pergi dari kehidupannya. Bukan karena teman-temannya tak berharga bagi Gravel, melainkan karena ketika itu, datang Mencit, sang penghibur lara Gravel. Mencit dengan ketulusannya membuat Gravel merasa kembali memiliki hidup. Ya, teman adalah kehidupan bagi Gravel.
Mencit tinggal di dalam lemari reyot sebuah rumah yang tak jauh dari sungai. Mencit lihai sekali mengambil barang-barang berharga dari berbagai ruang di rumah itu. Salah satu barang berharga hasil penemuan Mencit diberikannya untuk Gravel. Barang itulah yang membuat Gravel menangis hingga pagi.
Manik-manik prisma berwarna biru langit diberikan Mencit untuk Gravel tepat setelah teman-teman Gravel diangkut dengan truk besar berwarna kuning. Tidak hanya sekali truk itu datang, hanya saja kali itu tak ada yang tersisa selain Gravel. Gravel panik bukan kepalang. Sungguh dia tidak ingin hidup sebatang kara.
Mencit tidak tiba-tiba datang menghibur Gravel. Dia sudah lama memperhatikan tepi sungai di bawah jembatan. Sudah lama pula Mencit memperhatikan truk pengangkut itu. Mencit tertarik menatap tepi sungai berlama-lama setelah pemilik lemari reyot bersungut-sungut mengeluhkan tepi sungai yang semakin rusak.
Suatu pagi, Mencit mendengar isak tangis berasal dari tepi sungai. Mencit melihat truk kuning perlahan pergi meinggalkan tepi sungai. Segera Mencit mencari suara isak tangis tersebut. Dia menemukan Gravel, si batu kecil, menangis tersedu sedan. Mencit segera berlari meninggalkan Gravel yang tidak menyadari kehadiran Mencit. Mencit menuju pojok ruang lemari reyot dan mengobrak abrik barang temuannya. Mencit mencicit senang ketika melihat barang yang dicarinya, sebuah manik-manik prisma berwarna biru langit. Dalam hitungan detik, Mencit membalikkan badannya dan berlari cepat menuju tepi sungai bawah jembatan.
“Hai, Tak bisakah kau diam sebentar saja.” Suara mencit mengagetkan Gravel. Tangis Gravel terhenti berganti dengan tatapan waspada.
“Tidak perlu takut. Aku Mencit. Kau jelek sekali, wajahmu tak karuan. Sepertinya itu akibat tangisanmu.” Kalimat Mencit tidak terlihat seperti menghibur. Tetapi, begitulah cara Mencit menghibur. “Siapa namamu?”
“Gravel.” Jawab Gravel singkat
“Sini, kubuat wajahmu lebih indah dilihat.” Mencit tak meminta persetujuan dari Gravel. Mencit meletakkan manik-manik prisma disalah satu cekungan tubuh Gravel.
“Seperti ini lebih baik.” Mencit merasa puas dengan hasil karyanya. Gravel yang sedari tadi diam, melihat dirinya disungai. Senyumnya mulai merekah.
Hari berganti hari dan bulan berganti bulan. Persahabatan Gravel dan Mencit telah dikenal oleh penghuni sungai. Mencit selalu berkunjung ke pinggir sungai bawah jembatan. Mereka akan berbincang lama sekali sambil sesekali menyapa siapa saja yang melewati tempat mereka bersantai: kayu, daun, plastik, botol, potongan kain, sandal, dan masih banyak lagi. Dari yang mereka sapa itulah, berbagai informasi di dunia luar pinggir sungai bawah jembatan, mereka dapatkan. Infomasi dunia luar menjadikan perbincangan Gravel dan Mencit semakin seru dan semakin bertahan lama.
Setiap pertemuan pasti ada perpisahan, begitulah kalimat yang di dengar Gravel dan Mencit dari Tusuk Sate yang dibawa perlahan oleh aliran sungai. Tusuk sate sempat tersangkut di sela akar tanaman pinggir sungai yang masih bertahan. Tersangkutnya Tusuk Sate membawa banyak cerita menarik bagi Gravel dan Mencit. Tusuk Sate mengisahkan kehidupannya yang dia banggakan. Tusuk Sate bangga sekali pernah bermanfat bagi manusia.
“Manusia merampas teman-temanku,” kata Gravel kecewa. “Apa bagusnya bermanfaat untuk manusia?”
“Tentu saja bagus Gravel. Karena kita ada untuk manusia.” Mencit menyetujui kebanggaan Tusuk Sate.
“Maksudmu? Kita hidup hanya untuk manusia?” Gravel belum puas dengan kalimat Mencit.
“Ya!” Mencit menjawab singkat.
“Kau terlihat sangat yakin dengan itu Mencit.” Gravel menemukan raut wajah Mencit yang begitu yakin.
“Ha...ha...ha… kau ini. Kau pikir untuk apa hidupmu Gravel?”
“Entahlah.”
“Kita hidup untuk kebutuhan manusia Gravel. Aku menantinya.”
“Jika saat itu datang. Kau akan bangga seperti Tusuk Sate?”
“Tentu.”
“Meskipun kita tak bisa lagi bertemu?”
“Ya, alasan kita diciptakan adalah tujuan hidupku Gravel.”
Ingatan Gravel dengan percakapan terakhirnya dengan Mencit membuat tangisan panjangnya semakin menjadi. Gravel belum bisa menerima keyakinan Mencit. Bahkan, saat ini keyakinan Mencit semakin jauh dari diri Gravel.
Mencit tidak pernah kembali lagi ke pinggir sungai bawah jembatan. Sore setelah mereka bercakap-cakap, pemilik lemari reyot, tempat tinggal Mencit, membawa seluruh barangnya pergi dari rumah itu. Rumah itu semakin tidak layak dihuni setelah air sungai sudah semakin sering meluap.
Dua hari setelah Mencit tak lagi mengunjungi Gravel, air sungai kembali meluap. Banjir semakin besar. Manik-manik prisma berwarna biru langit, terbawa air malam tadi. Gravel semakin tak bisa memahami arti tujuan hidup yang dikatakan Mencit setelah kehidupannya, yaitu sahabatnya, kembali direnggut oleh ulah manusia.
Kamis, 19 Januari 2023
Angkasa
Malam tadi aku bermimpi tentangnya. Seorang sahabatku saat dulu. Bukan berarti saat ini kami tidak bersahabat. Hanya saja kami sudah lama tak bertemu. Kami sudah berpisah beberapa purnama dan entah sampai berapa purnama lagi kami akan kembali bertemu. Katanya dia ingin menjelajah keliling dunia. Ah, ada-ada saja. Sudah kukatakan, untuk apa? Bumi terlalu luas. Dia tak menghiraukanku. Dia tetap pergi, seorang diri.
Sebelum pikiran aneh itu dia sampaikan kepadaku, tingkahnya memang sudah berubah. Pagi, siang, sore, pun malam. Sebagian besar waktunya dihabiskan dengan menatap angkasa.
“Apa yang sedang kau lakukan?” tanyaku pada suatu pagi.
“Kau lihat kupu-kupu itu? mereka begitu indah.” jawabnya tanpa menengok ke arahku sedikit pun. kepalanya yang mungil tetap lekat menatap kupu-kupu berwarna warni.
“Ya, kita pun memilikinya. Memiliki keindahan yang berbeda.”
“Aku rasa tidak. Kau tahu, kita hanya makhluk kecil penuh bulu. Hewan perusak. Begitu manusia menyebut kita.”
“Kau meyakininya?”
“Hampir.” jawabnya singkat dan perlahan pergi meninggalkanku
Aku tahu kapan sahabatku mulai tak lagi kukenali, tapi aku tidak tahu apa penyebabnya. Sahabatku berubah setelah kepulangannya dari sebuah rumah. Sahabatku pernah tinggal beberapa waktu di sudut sebuah rumah perkampungan pinggir hutan.
Saat itu pertama kalinya kami, para tikus, bermain terlalu jauh. Tanpa sadar kami sudah berada di perkampungan pinggir hutan. Kami memutuskan segera Kembali, tetapi tidak dengan sahabatku. Sahabatku begitu terpesona melihat rumah-rumah di perkampungan itu. Dia ingin tinggal di sana. Segala upaya telah kami lakukan agar dia kembali bersama kami. Akan tetapi, keinginannya terlalu besar.
Tujuh malam berlalu, dia pun kembali dengan perubahan yang bagiku sangat berarti. Dirinya yang dulu seakan telah pergi, tak lagi bisa kukenali. Usahaku tak pernah usai untuk mengembalikan ke dirinya yang semula. Seperti siang ini. Saat dia kembali menatap angkasa.
“Kau lihat burung-burung itu?” tanyanya saat menyadari kehadiranku.
“Ya.” jawabku singkat.
“Beruntungnya mereka dapat melihat segala hal yang ingin mereka lihat.” dia menengok singkat ke arahku dan kembali menatap burung-burung yang sedang mencari kebutuhan mereka.
“Kita sama seperti mereka, bisa melihat apa yang ingin kita lihat. Bukankah kita memiliki mata? Kita tidak buta.” aku ikut menatap lekat burung-burung tersebut.
“Tentu saja berbeda, mereka dapat melihat lebih banyak dari yang bisa kita lihat.”
“Mereka perlu lebih banyak melihat dari atas sana, sedangkan kita hanya perlu melihat dari atas tanah ini.” sepertinya pendapatku tak menarik untuknya. Tak ada jawaban setelahnya. Pandangannya tetap tertuju ke angkasa.
Bukan hanya aku yang sangat merasakan perubahan sahabatku. Teman-taman kami pun merasakan itu. Bedanya mereka tak terlalu peduli. Teman-teman kami hanya melihat sahabatku dari rumah-rumah mereka. Mereka tak tertarik mencoba mendekat dan ikut menatap angkasa.
Dia masih sahabatku dan aku tak akan usai berusaha membawanya kembali menikmati hidup kami di atas tanah ini.
“Apalagi yang kau lihat di angkasa? matahari sudah pergi.”
“Kau lihat bulan itu? Bagaimana caraku mencapainya?”
“Kau pikir bisa?”
“Mungkin tidak, tapi aku ingin.”
Aku hanya diam tak tahu lagi apa yang perlu aku katakan. Perkataanku sepertinya tak lagi berguna. Aku hanya duduk disebelahnya. Menemaninya menatap angkasa. Begitu saja yang bisa kulakukan. Kami bersama menatap angkasa dengan pikiran yang berbeda. Dia menatap angkasa dengan segala keinginan memilikinya, sedangkan aku menatap dan menikmati angkasa dengan segala keindahan ciptaan-Nya. Pada akhirnya aku menikmati keadaan ini sampai keinginannya pergi menjelajah dunia itu datang. Setelah dia pergi dan tak kunjung kembali, aku tetap menatap dan menikmati angkasa, hanya saja kini kulakukan sendiri.