Di
lapangan basket salah satu SMPIT, terlihat beberapa orang duduk melingkar. Satu
orang dari mereka tidak menggunakan baju seragam dan disapa dengan sebutan
kakak.
“Sekarang
kita membicarakan tentang cinta. Kalian menyampaikan makna cinta yang kalian
tahu dan ceritakan pengalaman kalian tentang cinta, setiap orang harus cerita.”
Kakak berbicara dengan antusias.
“Ketauan
dong ka.” salah satu dari mereka protes.
“Nanti
ceritanya kita bahas.”
“Kakak
cerita juga ya.” yang lain menimpali.
“Kan
kakak udah pernah cerita.”
“Yang
dikejar-kejar itu ya ka?”
Kakak
menjawab dengan senyuman. “Ayo, mulai dari kanan.”
Satu persatu dari mereka
bercerita dengan berbagai ekspresi. Setiap dari mereka memiliki cerita yang
berbeda dan penyikapan yang juga tidak semua sama.
“Kita
sepakat ya kalau pacaran itu tidak boleh.” kata kakak setelah semua cerita.
“Tapi
aku gak sampe pacaran Ka. Aku Cuma bilang ke dia kalau aku suka sama dia. Emang
kalo bilang doang gak boleh ka?” salah satu siswi merasa terusik.
“Kalo
udah bilang terus gunanya apa? “
“Ngasih
tau aja, biar tenang ka.”
“Sayang,
coba kita pikir kembali. Adakah gunanya kalau kita menyampaikan perasaan suka. Kecuali
bilangnya begini, saya menyukai kamu, mau tidak kamu menjadi suami saya, kalau
mau ayo kita menikah.”
“Belumlah
ka, kan masih SMP.”
“Aku
nyesel ka. Aku banyak banget dosanya. Aku bodoh banget waktu itu. Lw pada gak
ngerasain kaya gw sih. Gw diputusin, bayangin gw yang diputusin, lewat telpon
lagi.” siswi lain sedikit mengulang ceritanya.
“Kalo
aku dulu suka sama dia ka. Terus dia pacaran sama temen aku. Pas dia masih
pacaran, dia bilang kalo dia suka sama aku, tapi aku udah suka sama yang lain.”
cerita berbeda terucap dari siswi yang berbeda.
Selanjutnya,
pembicaraan semakin penuh ekspresi.
***
Kami
berjalanan ditemani kebisuan. Aku melirik kearahnya untuk mempertegas
keyakinanku bahwa dia ingin bercerita. Jika sudah sampai masjid, aku ingin
berbagi. Seakan air mukanya berkata seperti itu. Benar saja, setelah beberapa
menit kami melepas lelah, dia mulai membuka suaranya.
“Lw di sms sama Arya gak?”
“Gak, apa isi smsnya?”
“Selamat atas kelulusan.”
“Ooo...”
“Kenapa dia sms gw, maksudnya
apa?” lanjutnya menunjukkan ketidakmengertian.
Saya pun terbengong tidak
mengerti dan mencoba mengerti ketidakmengertian teman saya.
“Mungkin dia cuma mau ngasih selamat biasa, namanya
juga teman.”
“Kenapa lw gak dikasih selamat.”
“Gw bukan temennya kali.”
mencoba bercanda, gagal. “selain lw, bener-bener gak ada lagi yang dikasih
selamat? Udah nanya yang lain.”
“Belum.”
Sepi. Kami sama-sama diam.
“Lw pernah nangis karena persaan
cinta kaya gini gak sih. Gw rasanya tersiksa. Gimana caranya ngilangin perasaan
ini?”
***
Cinta
hanya sebuah objek berbentuk rasa. Dia tak pernah salah karena dia tak pernah
melakukan apa-apa. Tidak sedikit manusia menyalahkan rasa cinta. Saya pun
pernah menyalahkan cinta. Kenapa saya bisa mencintainya. Cinta ini hanya
membuat saya tersiksa. Kata-kata sejenis itu pernah saya lontarkan sebelum
saya belajar dari pengalaman dan belajar dari pembelajaran. Pada suatu titik, seakan saya berbincang
dengan cinta di diri saya. Saya jatuh iba dengannya karena tidak jarang cinta
disalahkan padahal dia tak tahu apa-apa. Padahal dia tidak salah. Kitalah yang
salah karena tidak tahu alasan kita mencintai seseorang.
Jika
tau alasan harus sehat, kita akan mengontrol makanan yang masuk ke dalam tubuh
kita. Begitu juga cinta. Cinta bisa dikontrol atau dikelola jika kita tahu
mengapa dan untuk apa kita mencintai. Saya sangat meyakini bahwa tak ada cinta
yang buta. Cinta selalu indah dengan warnanya. Manusialah yang buta karena
tidak tahu alasan ia mencintai.
Saya menyesal pernah mencintaiya. Kalau
begitu, mengapa dahulu bisa mencintainya? Pertanyaan dan pernyataan demikian
yang membuat cinta seakan rumit dan tak mudah dipahami. Dia datang dengan tiba-tiba
dan hilang dengan tiba-tiba. Oleh karena itu, sabagian manusia menganggap wajar
jika sudah sekian tahun menjalin hubungan tiba-tiba kandas karena cinta sudah
tidak ada. Ikatan pernikahan bubar karena cinta tak dapat lagi tumbuh atau cinta tertambat kepada orang lain. Semua terjadi karena meletakkan cinta di atas ketidakmengertian,
mengapa saya bisa mencintainya. Kalau pun ada, cinta tersebut tumbuh di atas
kemengertian yang semu.
Mari
pahami alasan kita mencintai. Setelah itu, evaluasi, sudahkah alasan tersebut
mulia. Sudahkan kita meletakkan cinta di jalan Pemilik Cinta. Jika belum,
pertanda kita belum menemukan sejatinya cinta. Jika sejatinya cinta belum
didekap, penanda bahwa kita belum mengenal cinta dan cinta pun belum dapat
dikelola. Cinta karena Allah tidak bisa dibuktikan dari dua bibir yang berucap,
tapi pembuktian tingkah laku. Mudah sekali kita menemukan kemaksiatan, terutama
di layar kaca, mengatas namakan saya mencintaimu karena Allah maka
maukah kau menjadi kekasihku atau kupinang kau dengan hamdalah sambil
memegang kedua tangan sang kekasih. Ada juga yang berpacaran mengatasnamakan taaruf.
Apakah bisa dibenarkan orang mengatakan cinta, tapi mengajak sang cinta
menuju siksa dunia atau siksa akhirat atau bahkan keduanya?
Suatu
hari saya menghadiri akad nikah seorang sahabat. Nasihat untuk sang pengantin
bahwa pernikahan bertujuan untuk semakin mengenal Allah. Mengenal Allah melalui
bahtrera yang berjalan, melalui pasangan yang diridhoi-Nya. Semua berbingkai
ibadah. Semua berbingkai ridho-Nya. Semua berbingkai syurga. Begitu pun cinta.
Cinta tak pernah menyiksa karena sejatinya letak cinta ada di jalan ridho
Allah, jalan yang terang. Sejatinya, cinta adalah anugrah. Cinta adalah ciptaan
Allah, sedangkan perintah Allah berlaku atas segala ciptaannya. Manusialah yang
menyiksa diri karena menzalimi cinta. Tidak meletakkan cinta pada tempatnya.
“Tidaklah aku
ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menyembah-Ku.” (Adz-Dzariyat:
56)
“Allahlah yang
menciptakan tujuh dan langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku
padanya agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu dan
sesungguhnya Allah ilmunya benar-benar meliputi segala sesuatu.”
(Ath-Thalaq:12)
Wallahualam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar