Kamis, 20 Desember 2012

Sejatinya Cinta



Di lapangan basket salah satu SMPIT, terlihat beberapa orang duduk melingkar. Satu orang dari mereka tidak menggunakan baju seragam dan disapa dengan sebutan kakak.
“Sekarang kita membicarakan tentang cinta. Kalian menyampaikan makna cinta yang kalian tahu dan ceritakan pengalaman kalian tentang cinta, setiap orang harus cerita.” Kakak berbicara dengan antusias.
“Ketauan dong ka.” salah satu dari mereka protes.
“Nanti ceritanya kita bahas.”
“Kakak cerita juga ya.” yang lain menimpali.
“Kan kakak udah pernah cerita.”
“Yang dikejar-kejar itu ya ka?”
Kakak menjawab dengan senyuman. “Ayo, mulai dari kanan.”
                Satu persatu dari mereka bercerita dengan berbagai ekspresi. Setiap dari mereka memiliki cerita yang berbeda dan penyikapan yang juga tidak semua sama.
“Kita sepakat ya kalau pacaran itu tidak boleh.” kata kakak setelah semua cerita.
“Tapi aku gak sampe pacaran Ka. Aku Cuma bilang ke dia kalau aku suka sama dia. Emang kalo bilang doang gak boleh ka?” salah satu siswi merasa terusik.
“Kalo udah bilang terus gunanya apa? “
“Ngasih tau aja, biar tenang ka.”
“Sayang, coba kita pikir kembali. Adakah gunanya kalau kita menyampaikan perasaan suka. Kecuali bilangnya begini, saya menyukai kamu, mau tidak kamu menjadi suami saya, kalau mau ayo kita menikah.”
“Belumlah ka, kan masih SMP.”
“Aku nyesel ka. Aku banyak banget dosanya. Aku bodoh banget waktu itu. Lw pada gak ngerasain kaya gw sih. Gw diputusin, bayangin gw yang diputusin, lewat telpon lagi.” siswi lain sedikit mengulang ceritanya.   
“Kalo aku dulu suka sama dia ka. Terus dia pacaran sama temen aku. Pas dia masih pacaran, dia bilang kalo dia suka sama aku, tapi aku udah suka sama yang lain.” cerita berbeda terucap dari siswi yang berbeda.
Selanjutnya, pembicaraan semakin penuh ekspresi.
***
Kami berjalanan ditemani kebisuan. Aku melirik kearahnya untuk mempertegas keyakinanku bahwa dia ingin bercerita. Jika sudah sampai masjid, aku ingin berbagi. Seakan air mukanya berkata seperti itu. Benar saja, setelah beberapa menit kami melepas lelah, dia mulai membuka suaranya.
                “Lw di sms sama Arya gak?”
                “Gak, apa isi smsnya?”
                “Selamat atas kelulusan.”
                “Ooo...”
                “Kenapa dia sms gw, maksudnya apa?” lanjutnya menunjukkan ketidakmengertian.
                Saya pun terbengong tidak mengerti dan mencoba mengerti ketidakmengertian teman saya.
                 “Mungkin dia cuma mau ngasih selamat biasa, namanya juga teman.”
                “Kenapa lw gak dikasih selamat.”
                “Gw bukan temennya kali.” mencoba bercanda, gagal. “selain lw, bener-bener gak ada lagi yang dikasih selamat? Udah nanya yang lain.”
                “Belum.”
                Sepi. Kami sama-sama diam.
                “Lw pernah nangis karena persaan cinta kaya gini gak sih. Gw rasanya tersiksa. Gimana caranya ngilangin perasaan ini?”
***
Cinta hanya sebuah objek berbentuk rasa. Dia tak pernah salah karena dia tak pernah melakukan apa-apa. Tidak sedikit manusia menyalahkan rasa cinta. Saya pun pernah menyalahkan cinta. Kenapa saya bisa mencintainya. Cinta ini hanya membuat saya tersiksa. Kata-kata sejenis itu pernah saya lontarkan sebelum saya belajar dari pengalaman dan belajar dari pembelajaran.  Pada suatu titik, seakan saya berbincang dengan cinta di diri saya. Saya jatuh iba dengannya karena tidak jarang cinta disalahkan padahal dia tak tahu apa-apa. Padahal dia tidak salah. Kitalah yang salah karena tidak tahu alasan kita mencintai seseorang.
Jika tau alasan harus sehat, kita akan mengontrol makanan yang masuk ke dalam tubuh kita. Begitu juga cinta. Cinta bisa dikontrol atau dikelola jika kita tahu mengapa dan untuk apa kita mencintai. Saya sangat meyakini bahwa tak ada cinta yang buta. Cinta selalu indah dengan warnanya. Manusialah yang buta karena tidak tahu alasan ia mencintai.
Saya menyesal pernah mencintaiya. Kalau begitu, mengapa dahulu bisa mencintainya? Pertanyaan dan pernyataan demikian yang membuat cinta seakan rumit dan tak mudah dipahami. Dia datang dengan tiba-tiba dan hilang dengan tiba-tiba. Oleh karena itu, sabagian manusia menganggap wajar jika sudah sekian tahun menjalin hubungan tiba-tiba kandas karena cinta sudah tidak ada. Ikatan pernikahan bubar karena cinta tak dapat lagi tumbuh atau cinta tertambat kepada orang lain. Semua terjadi karena meletakkan cinta di atas ketidakmengertian, mengapa saya bisa mencintainya. Kalau pun ada, cinta tersebut tumbuh di atas kemengertian yang semu.
Mari pahami alasan kita mencintai. Setelah itu, evaluasi, sudahkah alasan tersebut mulia. Sudahkan kita meletakkan cinta di jalan Pemilik Cinta. Jika belum, pertanda kita belum menemukan sejatinya cinta. Jika sejatinya cinta belum didekap, penanda bahwa kita belum mengenal cinta dan cinta pun belum dapat dikelola. Cinta karena Allah tidak bisa dibuktikan dari dua bibir yang berucap, tapi pembuktian tingkah laku. Mudah sekali kita menemukan kemaksiatan, terutama di layar kaca, mengatas namakan saya mencintaimu karena Allah maka maukah kau menjadi kekasihku atau kupinang kau dengan hamdalah sambil memegang kedua tangan sang kekasih. Ada juga yang berpacaran mengatasnamakan taaruf. Apakah bisa dibenarkan orang mengatakan cinta, tapi mengajak sang cinta menuju siksa dunia atau siksa akhirat atau bahkan keduanya?
Suatu hari saya menghadiri akad nikah seorang sahabat. Nasihat untuk sang pengantin bahwa pernikahan bertujuan untuk semakin mengenal Allah. Mengenal Allah melalui bahtrera yang berjalan, melalui pasangan yang diridhoi-Nya. Semua berbingkai ibadah. Semua berbingkai ridho-Nya. Semua berbingkai syurga. Begitu pun cinta. Cinta tak pernah menyiksa karena sejatinya letak cinta ada di jalan ridho Allah, jalan yang terang. Sejatinya, cinta adalah anugrah. Cinta adalah ciptaan Allah, sedangkan perintah Allah berlaku atas segala ciptaannya. Manusialah yang menyiksa diri karena menzalimi cinta. Tidak meletakkan cinta pada tempatnya.
“Tidaklah aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menyembah-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)
“Allahlah yang menciptakan tujuh dan langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu dan sesungguhnya Allah ilmunya benar-benar meliputi segala sesuatu.” (Ath-Thalaq:12)

Wallahualam 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar