Hujan malam
membawaku pada putaran cinta lalu yang belum sempurna. Tentang aku yang
mencintaimu. Berawal dari cita dalam hidup. Aku tahu kau dan aku bukan manusia
sempurna. Pikirku, dengan kita hitungan
matematika tak lagi berlaku. Karena cita membersamai cinta atau cinta
membersamai cita? Entah mana yang lebih
dulu.
Jejak belum
tertanam, hujan telah menghalau. Walau begitu, aku tak menyalahkan hujan.
Senyum tetap kurekahkan untuk hujan dan jejak yang terhapus.
Kata orang, cinta
tak harus memiliki, kata adikku tak bisa cinta tak memiliki. Aku tak peduli
mana yang benar setelah aku memaksakan kesadaran bahwa mulanya adalah cita.
Cintaku berawal dari
cita. Kata-kata itu kutulis rapi dan
kuletakaan dalam alir darah. Maka setelahnya tak ada sakit yang tak
tersembuhkan.
Hujan malam telah
berhenti berganti bintang pemasok mimpi. Aku tuliskan mimpiku tentangmu dan ku
titipkan pada sinar bintang. Sengaja kuselipkan bunga sebagai penanda. Bulan
cemburu dan berbisik, mengapa tidak padanya kutitipkan. Karena kau begitu
cantik, jawabku penuh pesan. Malam
semakin gulita dan aku terlelap
dengan doa.
Kini sudah pagi.
Sinar mentari menggelitik kulit membuka pori-pori. Menyuntikkan doa-doa yang
terkabul dalam mimpi-mimpi malam. Merpati masuk melalui celah jendela yang
terbuka. Ada cap bintang di paruhnya
Saya tertegun dengan buku Haji
karangan Dr. Ali Shariatidi tangan. Jika ada yang mengenalku pasti
mereka berkata, “memang sudah selesai dibaca.” Perkiraannya akan saya benarkan.
Saya belum selesai membaca buku tersebut. Saya baru selesai membaca perihal
pengarang dan epilog.
Pikiran saya kembali ke masa
kemarin dulu. Teringat pertanyaan adik bapakku tentang perkataan bapakku. Adik
bapakku begitu heran dengannya yang terkesan tidak begitu mendukung keinginan
adiknya untuk pergi haji. Ketika itu saya hanya diam. Saya tidak bisa menjawab
apa pun karena saya pun tidak paham apa yang dipikirkan bapakku. Lagi-lagi
begitu, saya tidak paham jalan pikirannya. Tapi saya yakin, suatu saat nanti
saya akan paham. Bukankah memang selalu bagitu, setelah memahami saya akan
bersyukur memiliki bapak sepertimu.
EPILOG
SEBUAH SYAIR DARI NASER KHOSROW
Dengan membawa kemuliaan jamaah haji telah kembali.
Mereka bersyukur kepada Allah Yang Pengasih.
Di dalam perjalanan dari Arafat menuju Mekkah.
Dengan takzim mereka mengulangi ucapan “Labbaika.
Ketika menghadap kekerasan Padang Pasir Hijaz,
Mereka bersukaria karena telah selamat dari siksa
dan api.
Mereka telah menunaikan haji dan telah
menyelesaikan umroh.
Kini, dalam keadaan selamat mereka kembali ke tanah
air.
Aku menyempatkan diri untuk menyambut kepulangan
mereka,
Walau biasanya orang-orang yang seperti aku ini
tidak berbuat demikian.
Tetapi salah seorang di antara para jamaah itu,
Adalah sahabatku sejati.
Kepadanya aku bertanya bagaimanakah ia telah
menempuh
Perjalanan yang sulit dan menakutkan itu.
Kepadanya kukabarkan, sejak kepergiannya
meninggalkan aku sendiri,
Yang kurasakan adalah sesal dan duka cita
semata-mata.
Tetapi kini aku gembira karena engkau telah
menunaikan ibadah haji,
Dan karena engkaulah satu-satunya haji di negeri
kita ini.
Ceritakanlah kepadaku: Bagaimanakah engkau telah
menunaikan haji?
Bagaimanakah engkau telah memuliakan Tanah Suci?
Setelah melepas pakaian dan hendak mengenakan
ihram,
Di saat-saat hati menggelora itu apakah “niat”-mu?
Telah engkau tinggalkan setiap sesuatu yang harus
engkau tinggalkan?
Telah engkau tinggalkan setiap sesuatu yang lebih
hina daripada Allah Yang Maha Besar?
Tetapi jawabannya: Tidak!
Kepadanya aku bertanya:
Apakah ia telah menyerukan “Labbaika” dengan
pengetahuan yang sempurna dan dengan penuh takzim?
Apakah ia telang mendengar seruan Allah?
Atau, apakah ia telah patuh dengan kepatuhan
Ibrahim?
Tetapi jawabannya: Tidak!
Kepadanya aku bertanya:
Ketika berada di Arafat,
Ketika sedemikian hampir kepada Allah Yang Maha
Besar,
Sempatkah ia berkenalan dengan Dia?
Tidakkah ia berhas
Sempatkah ia berkenalan dengan Dia?
Tidakkah ia berhasrat untuk mempelajari sedikit
pengetahuan?
Tetapi jawabannya: Tidak!
Kepadanya aku bertanya:
Ketika masuk ke dalam Ka’bah seperti yang telah
dilakukan oleh keluarga “Kahf dan Raquim,
Tidakkah dibuangnya sikap mementingkan diri
sendiri?
Tidakkah ia takut kepada hukum akhirat nanti?
Tetapi jawabannya: Tidak!
Kepadanya aku bertanya:
Ketika menembak berhala-berhala,
Tidakkah ia memandang berhala-berhala itu sebagai
syetan?
Dan setelah itu tidakkah ia menghindari kejahatan?
Tetapi jawabannya: Tidak!
Kepadanya aku bertanya:
Ketika berkorban,
Untuk makanan orang-orang yang lapar dan anak-anak
yatim,
Bukan Allah-kah yang pertama sekali dipikirkannya?
Dan, setelah itu tidakkah ia membunuh ketamakan di
dalam dirinya?
Tetapi jawabannya: Tidak!
Kepadanya aku bertanya:
Ketika berdiri di Maqam Ibrahim,
Apakah ia bersandar kepada Allah semata-mata
Dengan hati yang tulus dan keyakinan yang teguh?
Tetapi jawabannya: Tidak!
Kepadanya aku bertanya:
Ketika melakukan thawaf mengelilingi Ka’bah,
Tidak ingatkah ia bahwa semua malaikat senantiasa
thawaf mengelilingi bumi?
Tetapi jawabannya: Tidak!
Kepada aku bertanya:
Ketika malakukan Sa’y,
Ketika berlari-lari di antara Shafa dan Marwa,
Tidakkah ia menjadi suci dan bersih?
Tetapi jawabannya: Tidak!
Kepadanya aku bertanya:
Kini, setelah kembali ke Makkah,
Dan rindu
kepada Ka’bah,
Tidakkah akunya terkubur di sana?
Tidakkah ia berhasrat untuk pergi lagi?
Tetapi jawabannya: Tidak!
“semua yang engkau pertanyakan ini
Tidak satu pun yang kumengerti!”
Maka kepadanya aku berkata:
Wahai sahabatku! sesungguhnya engkau belum
menunaikan ibadah haji!
Sesungguhnya engkau belum taat kepada Allah!
Memang engkau telah pergi ke Makkah untuk
mengunjungi Ka’bah!
Memang engkau telah menghamburkan uang untuk
membali kekerasan padang pasir!
Jika engkau berniat hendak melakukan ibadah haji
sekali lagi,
Berbuatlah seperti yeng telah kuujarkan ini!
Epilog
itu saja telah menjawab keheranan saya dengan tindakmu. Akhirnya benar saja,
walau entah kapan, ujungnya saya mendapatkan kepahaman dengan lakumu. Tapi saya
tahu tak mudah untukmu menyampaikan apa yang kau pikirkan, peluang
kesalahpahaman bisa muncul karenanya. Kini aku tahu, jawaban apa yang bisa aku
berikan kepada adikmu. Sepertimu, aku akan memberikan buku ini kepadanya. Buku
milikmu tertanggal 28484,buku yang lebih tua dariku. Sepertiku, adikmu pun akan
tahu tindakanmu selalu punya alasan kebaikan. Alasan yang selalusaya temukan tidak dari lisanmu. Alasan yang
saya temukan dari ilmu-ilmu baru yang saya dapat dari berbagai bukumu. Bukumu
adalah pikiranmu.
Inginku, harapku, dan doaku, kita
haji bersama dengan pemahaman yang sama. Tentu saja dengan istri tercintamu,
bundaku, dan mungkin dengan suami tercintaku.